Rabu, 28 September 2011

Ridha atas Ketetapan Allah

“... Boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui “ (Al Baqarah (2 ) : 216).     Suatu waktu, Abu Yazid Al Basthami ditanya orang, “Apa yang engkau inginkan? “   Ulama besar ini menjawab, “Aku menginginkan agar diriku tidak punya keinginan lagi.” Makna jawaban Abu Yazid, adalah pengertian dan praktik ridha kepada Allah. Bagi orang-orang yang tawakalnya tinggi, menganggap bahwa  ridha yang hakiki adalah tidak memiliki keinginan dan pilihan lain kecuali menerima apa saja yang diberikan oleh Allah kepada mereka. Abdullah bin Al Mubarak pernah ditanya tentang makna ridha oleh salah seorang muridnya. Beliau menjawab, “Jika engkau telah berupaya dengan keras, lalu apa yang engkau upayakan itu tidak berhasil, dan engkau merasa kesal tetapi tetap tabah, itulah ridha dan sabar yang hakiki. Ketahuilah, keridhaan memberikan kenikmatan dalam beramal. Jika seorang hamba tidak memiliki keridhaan, ia tidak akan mampu mencapai derajat orang bertakwa. Sebab, salah satu ciri orang yang bertakwa, adalah ridha dan sabar atas penderitaan yang menimpa dirinya.“

      Karena itu seyogianya setelah ikhtiar lahiriah kita maksimal, yang diiringi dengan doa yang istiqamah, maka keputusan apa pun yang diberikan Allah, hendaknya kita terima dengan ridha dan sabar. Al Muhasibi mengingatkan, “Ketika engkau sedang papa, nafsumu selalu menjanjikan kezuhudan. Namun ketika engkau banyak harta, ia mendorongmu pada kerakusan. Ketika engkau belum berjaya, nafsumu selalu menjanjikan kesyukuran. Namun, ketika engkau berkuasa, ia mendorongmu pada kekufuran. Ketika engkau tidak punya jabatan, nafsumu menjanjikan kewarakan. Namun ketika engkau punya kedudukan, ia mendorongmu pada kegegabahan. Nafsu selalu menjanjikan kesalehan kepadamu ketika dirimu tak punya apa-apa.Sedangkan ketika engkau banyak harta, ia selalu mendorongmu pada kemaksiatan.“

       Seseorang bertanya kepada sufi agung wanita Rabi’ah Al Adawiyah “Bagaimana jika Allah memasukkan dirimu ke dalam neraka?  Apakah engkau akan menerima atau menolaknya? “ Wanita salehah ini menjawab dengan jitu,  “Aku lebih suka masuk ke dalam neraka jika di dalamnya aku mendapatkan ridha Allah. Aku akan menolak dimasukkan ke dalam surga jika di dalamnya aku tidak mendapat ridha-Nya.“  Masya Allah. Oleh karena itu kilah Abu Mada’in, “Tidak ada senjata yang paling ampuh bagi orang Mukmin kecuali sabar dan ridha. Tanda-tanda orang yang mendekati su’ul khatimah (buruk akhir hayatnya) adalah ia tidak dapat bersabar dan ridha terhadap musibah yang menimpa dirinya. Jika seseorang mendapat musibah dengan ketidaksabaran, musibah yang menimpa dirinya akan mendorongnya pada kekufuran. Orang yang tidak diberi anugerah ridha akan banyak mengeluh, resah, berangan-angan.“

Ali Al Khawwasha mengingatkan, “Musibah yang menimpa dirimu tidak akan hilang dengan keluhan. Musibah hanya dapat diatasi dengan kesabaran dan keridhaan. Janganlah engkau jadikan musibah sebagai penambah dosa, yaitu engkau tidak bersabar dan tidak merelakan musibah yang menimpa dirimu. Jika engkau banyak mengeluh, musibah yang menimpa dirimu malah menambah dosamu, bukan menjadi kifarat atas dosamu. Sungguh rugi orang yang mengeluh atas ujian Allah. Musibah yang menimpa dirinya hanya menambah dosa-dosa.“  Ibrahim Al Taimi mengingatkan,  “Sebuah musibah akan menjadi kifarat dosa seseorang jika ia menghadapinya dengan sikap sabar dan ridha. Sedangkan jika ia menghadapinya dengan sikap gelisah dan keluh kesah, ia hanya akan menambah beban dosa.“
     Dikisahkan, satu hari Imran bin Hasan menemui isterinya. Imran adalah orang yang buruk rupa, kecil dan pendek. Sementara isterinya adalah wanita yang amat cantik. Ketika memandang isterinya, Imran tdak berhenti memandanginya.

Istri Imran bertanya, “Wahai suamiku, ada apa dengan dirimu, mengapa engkau memandangiku terus menerus?“  Imran menjawab,  “Alhamdulillah, engkau sungguh cantik.“ Isterinya berkata,  “Berbahagialah, sebab kita layak masuk surga.“  Imran bertanya, “Dari mana engkau tahu bahwa kita akan masuk surga?“ Isterinya menjawab, “Engkau dianugerahi istri yang cantik, dan engkau bersyukur. Sedangkan, aku diuji dengan suami yang buruk (tetapi gagah perangainya), dan aku tetap bersabar. Bukankah orang yang sabar dan orang yang bersyukur akan masuk ke dalam surga?  ” Lalu bagaimana kalau ditakdirkan memiliki suami atau isteri yang sikapnya sering menjengkelkan?  Ada baiknya kita simak ungkapan Ka’b Al – Akhbar  “Suami yang bersabar atas perilaku isterinya layak mendapat pahala seperti Nabi Ayub. Istri yang bersabar atas penganiayaan suaminya layak mendapat pahala seperti Asiyah, isteri Fir’aun.“  Al Mudayani berkata, “Salah seorang nabi zaman dahulu mengadukan kepada Allah swt tentang keburukan istrinya. Kemudian Allah swt menurunkan wahyu kepadanya ‘ Sesungguhnya Aku menurunkan hal itu sebagai ujian bagimu.“      Orang-orang saleh zaman dahulu dikenal sangat sayang kepada istri –  istri mereka. Saking sayangnya, mereka enggan menyakiti hati istri-istri mereka, meskipun perilaku istri kadang menyakitkan Jika perilaku istri menyakitkan, mereka menganggap hal itu sebagai teguran dari  Allah atas perbuatan menyimpang yang mereka lakukan.to